Minggu, 04 Mei 2014

setetes NUR MUHAMMAD



Para Malaikat adalah Cahaya-cahaya Alloh yang mengambang di lelangit yang tidak menembus ‘bumi’ (bumi belum tercipta), sehingga hanya menerangi cakrawala. Saat Alloh belum mencipta bumi, Alloh sebagai Cahaya  memancarkan  Cahaya-cahaya-Nya ke segala penjuru, sehingga segala penjuru terpenuhi cahaya. Akhirnya Cahaya Awwal hanya melihat  cahaya-cahaya yang meliputi Cahaya Awal tersebut , yang cahaya itu sendiri merupakan pancaran dari Diri Cahaya. Mata Cahaya dengan cermin cahaya-cahaya, otomatis tidak bisa mengenali Diri Cahaya (karena tidak mengandung reflektor, pemantul, cermin). Karena itulah Alloh Menciptakan cermin yang bisa untuk mengenali Diri-Nya, yaitu cermin yang di baliknya berwajah ‘gelap’. Wajah yang satu memantulkan Cahaya, wajah sebaliknya sebagai kegelapan yang tidak memantulkan Cahaya. Akan tetapi justru dengan adanya kegelapan inilah wajah cermin sebaliknya bisa memantulkan Cahaya. Dengan adanya bahan baku pembuat cermin, yaitu air raksa yang mengandung unsur cahaya, api, udara dan tanah, terciptalah barzah yang menengahi kedua wajah cermin tersebut. Tanpa barzah ini, yang terang tidak dinamakan terang, yang gelap tidak dinamakan gelap. Melalui cermin (manusia) lah Alloh bisa mengenali yang wujud dan yang tiada, bisa mengenali Wujud dan yang tak wujud. Maka manusia yang bisa mengenali ketidak wujudan, ketidak tahuan, ketidak berdayaan, ketidak hidupan dirinya, dst. akan mengenali Alloh Yang Wujud, Yang Maha Tahu, Yang Maha Kuat, Yang Hidup, dst. Dari sudut pandang Alloh, Alloh melihat, menyaksikan dan mengenali Diri-Nya. Dari sudut pandang “cermin” (manusia) tanpa bersandar pada kepekatan air raksa tak akan melihat, menyaksikan, mengenal dan menyembah-Nya. Maka siapa saja yang bercermin melalui wajah yang tak memantulkan, akan tidak melihat gambaran dirinya. Siapa yang bercermun melalui wajah yang lain, akan melihat wajah dirinya. Ada seribu cermin yang saling berhadapan sesama wajah yang memantulkan yang cermin pertama memantulkan Cahaya, maka seluruhn ya akan tampak Cahaya. Al-mukmin mir’ah al-Mukmin. Al-mukmin mir’ah al-mukmin. Al-Mukmin mir’ah al-mukmin. Al-Mukmin bercermin pada mukmin, yang tampak adalah   Al-Mukmin. Mukmin bercermin pada sesama mukmin yang tampak adalah Citra Al-Mukmin. Mukmin bercermin pada Al-Mukmin, yang tampak adalah kegelapan dirinya. Malaikat melihat sesama malaikat ?

          Alloh adalah Cahaya langit dan bumi (‘alimul ghoibi wasy-syhadah). Perumpamaan Cahaya-Nya seperti Misbah yang terbungkus kaca. Misbah yang terbungkus kaca ada dalam Miskat (ceruk, lobang pada tembok tempat menaruh dian atau misbah). Kacanya seumpama kawkab (bintang) yang selalu memancarkan cahaya hingga seperti karakter mutiara (Durriyyun). Kawkab itu seperti dinyalakan dengan minyak dari pohon mubarokah, yaitu pohon zaitun yang tidak tumbuh di Timur maupun Barat. Hampir-hampir minyak zaitun itu menerangi (memancarkan cahaya) dengan sendirinya meski tak tersentuh (tersulut) api (sebelumnya). Alloh adalah Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis cahaya, gradasi Cahaya). Alloh menunjukkan Cahaya-Nya kepada siapa yang Alloh Menghendakinya. Dan Alloh menghunjamkan perumpamaan-perumpamaan bagi   manusia. Dan Alloh Maha Mengetahui segala sesuatu.

Bumi-bumi yang pekat tercipta dari serpihan kawkab. Tsumma rodadnaahu asfala saafiliin (asalnya adalah kawkab, dan kawkab asalnya Matahari, lihat teori BIG BANG, Matahari Terbesar tak lain adalah seumpama Alloh)
Kawkab tanpa kaca dan debu adalah gambaran Sahabat Nabi dan gambaran Nabi-nabi selain Muhammad SAW.

          Dengan gradasi berbalik, Muhammad bagaikan Bulan yang bisa memantul (lebih sempurna keabadiannya) sementara Sahabat Nabi bagaikan kawkab yang hanya bisa memancar terus tanpa memantulkan cahaya (lebih rendah dari Muhammad dalam ke’abdi’annya).

          Semakin makhluk bisa melesat ke kerak terluar dalam penciptaan (ujung penciptaan, yang tentunya paling pekat dan tetap selalu berhadapan muka dengan cahaya dan cahaya di atasnya, maka itulah makhluk debu yang paling mulia. Untuk itulah, Demi Alloh, bumi merupakan planet termulia, yang di dalam dan permukaannya terdapat baitulloh yang tembus ke dasar bumi dan tembus ke langit tertinggi. Bumi yang terdapat Baitullohlah yang merupakan planet reflektor tersempurna, dibanding planet yang lain yang permukaannya lebih terang jika kena pantulan cahaya matahari. Bumilah yang paling pekat permukaannya sehingga jika terkena matahari seluruh isi permukaan bumi akan tampak sebagaimana adanya. Lain dengan planet yang lain yang jika terkena matahari (karena permukaannya ada yang berupa api seperti marcurius dan venus, dan ada pula yang permukaannya berupa cadas dan bebatuan yang sangat keras dan semakin jauh akan berupa es seperti pluto. Ketika sembilan planet diterangi oleh senter yang kita pegang, maka yang paling tidak menyilaukan mata kita yang memegang senter adalah yang paling pekat yaitu bumi. Ketika melihat bumi dengan senter besar  menjadi jelas-jelas terlihat apa adanya apa yang ada di seluruh permukaannya tanpa tersilaukan, tidak sebagaimana planet yang lain, maka bumilah yang paling Alloh cintai. Sebab ketika Alloh ingin melihat bumi, Bumi tidak ada kesombongan sama sekali (tidak menyilaukan dengan adanya kesombongan berupa api, cadas atau es pada planet lain yang menyilaukan). Bumi sangat bersahaja dan menyadari siapa dirinya. Walaupun di dalam perut bumi sendiri ada sumbercahaya, bumi tak mau menampilkannya dipermukaan yang nanti akan membuat silau mata yang memandang ketika menyorotkan senternya. Demikian pula Arwah yang terbungkus dengan kaca dan kemudian debu, yaitu manusia. Muhammadlah manusia yang paling Mulia. Muhammadlah yang menampakkan permukaannya sebagaimana adanya, tanpa ditutup-tutupi sebagaimana manusia yang lain yang masih sombong, yang menampak2kan apinya pada permukaanya seperti marcurius dan venus atau manusia yang menampak2kan cahaya palsu karena kekerasannya seperti planet mares atau yupiter, atau manusia yang menampak2kan kesuciannya (es) seperti permukaan planet pluto. Muhammadlah yang paling pekat permukaan buminya, sehingga untuk menerangi dirinya sangat bergantung dengan cahaya. Rasa Muhammad dalam kesahajaannya, memastikan dirinya terus selalu  mati (gelap) jika tidak bergantung pada Cahaya. Tidak sebagaimana yang lain yang merasa telah bercahaya dengan sendirinya (api) atau menampakkan kesuciannya (es). Namun di balik kepolosan bumi Muhammad, Mata Sang Surya akan sangat mencintai kesahajaannya. Ketika Mata memandang, Mata tidak silau. Mata Sang Surya menitikkan Air Mata ketika terharu melihat kesahajaan Bumi. Air Matanya inilah bukti teragung bahwa makhluk yang paling dicintai adalah Bumi. Air Mata (Air Mata dari Mata yang kiri; Ar-Rohman dan Air Mata dari Mata yang kanan; Ar-Rohim). Berkah Kedua Air Mata inilah Alloh hendak mengabadikan Surga dan neraka beserta isinya demi Bumi Muhammad. Di Balik itu dalam kesendirian bumi yang gelap, bumi juga menitikkan air mata. Wahai Sang Surya, di manakah Engkau, aku benar benar gelap dan mati tanpa kehadiran-Mu. Jeritan tangis Bumi dari kejauhan di dengar oleh Sang Surya. Seperti kesedihan dan jeritan seorang anak terkasih dari jauh yang sangat dirasakan oleh sang ibu dari kejauhan. Ibunya mendekat dan mendekap, mengusap kedua mata Bumi yang masih menitikkan air mata. Ibunya sangat peka terhadap anak terkasih. Bagaimana tidak sementara anaknya terlahir dari dirinya ? Bagaimana Sang Surya tidak melihat jeritan Bumi sementara di dalam perut bumi ada sesuatu yang merupakan bagian dari Diri Sang Surya yaitu Cahaya, sebagai radar atau antena ? (lihatlah sekali lagi teori BIG BANG, tanpa zaitun atau cahaya, Bumi tak akan ditarik oleh Sang Surya dan dipihak lain bumi tidak bisa mengorbit dengan taat mengitari Sang Suryabuana. Buktikanlah, tak ada satu planet pun yang di dalamnya tidak mengandung cahaya. Tanpa cahaya ini, tak mungkin akan ada dinamisasi, proses ubudiyyah, antara seluruh bintang dan planet dengan Sang Surya Akbar). Jika kau julurkan tali ke dasar bumi, akan kau temui pula Alloh di dalamnya. Bumi menjerit lihatlah aku Wahai Sang Surya. Akan kutampakkan aku apa adanya kepada yang paling kucinta, yaitu Engkau wahai Sang Surya. Bagi mataku, yang paling indah adalah tatapan Mata-mu untuk semata aku. Tapi aku tidak berdaya, apakah aku yang pekat ini akan ternyata makhluk yang paling Kau Cinta. Aku tidak berani menatap-Mu  wahai Sang Surya. Aku Malu dan mawas diri kalau-kalau ternyata Engkau menolak cinta suciku satu-satunya yang memang kupersembahkan semata untuk-Mu. Aku telah mengetahui, api, bulan dan bintang sudah menampakkan keasliannya. Namun keaslian Cahaya Diri-Mu melebihi keaslian Cahaya mereka. Demi itulah akau hanya mencintai-Mu wahai Sang Surya. Jangan salahkan dulu penulis dengan tamsilan seperti ini. Penulis hanya membeo dengan apa yang pernah Kekasihku (Muhammad SAW) sabdakan. Beliau sendiri mentamsilakan nanti di akhirat seorang mukmin akan melihat Alloh seperti Matahari yang tak menyilaukan. Sang Surya terpaku hanya mau melihat bumi yang telah menyatakan keluguannya yang hakiki. Lihatlah Aku wahai bumi, Aku sekarang benar-benar hanya Cinta Sejati padamu. Cinta sucimu kini Aku terima, dan memang cinta dari dirimu saja yang Aku terima. Aku tanggapi pula dengan Cinta Suci-Ku. Wahai Sang Surya, lihatlah kini aku apa adanya. Aku sendiri sebelum Engkau hadir sama sekali tak mengetahui apakah di punggungku sebelah Utara ada gunung indah penuh bunga atau tidak. Aku juga tidak tahu sebelum sebelum Engkau hadir apakah di sebelah Selatan punggungku ada jurang penuh kotoran yang busuk atau tidak. Jangan bersedih, keseluruhanmu Aku mencurahkan Air Mata Ar-Rohman dari kejauhan. Hanya jika dari dekat punggungmu Kulihat bukit yang indah, untuk punggung tersebut Ku siramkan pula Air Mata Ar-Rohim-Ku. Dari jauh keseluruhanmu akan selalu Kutatap dan Kucinta. Namun jangan salahkan Aku jika dari dekat Aku tak mau   melihat jurang yang busuk penuh kotoran di punggungmu sebelah kiri, Aku benci dan tak sudi melihatnya. Aku hanya mau menatap dan mencinta punggung kananmu yang penuh bukit dengan bunga-bunga cantiknya. Sabda Nabi,”dari awal sampai akhir, Aku tak sudi melihat dunia”.  Tapi apakah dengan demikian Cinta Suci-Mu akan semakin berkurang setelah melihatku apa adanya. Tidak. Sekali lagi tidak berkurang. Telah menjadi Ketetapan-Ku bahwa engkaulah permata-Ku yang paling Kucinta. Tak akan Aku lirik planet-planet selainmu. Jika Aku tatap kau dari kejauhan, tak ada yang paling Kuridlo selainmu. Jika Kutatap dari dekat, Aku akan pilih-pilih mana yang lebih Aku Ridlo.  Punggungmu yang paling indah di khatulistiwa dan sekitarnya yang tidak menyilaukan Mata-Ku melihat, itulah yang paling Kuridlo, yaitu bukit-bukit penuh bunga yang sangat pandai merayu dan mencintai-Ku. Namun aku juga paling benci punggung khatulistiwamu yang terdapat jurang-jurang kotoran yang busuk. Aku tak sudi melihatnya. Seharusnya menampakkan keindahannya padaku malah menampakkan kejelekannya. Seharusnya gembira ria atas kehadiran-Ku malah suram wajahnya. Demikian pula Aku juga tidak ridlo melihat punggungmu yang  ada di sebelah kutub Utara dan Selatan. Permukaannya menyilaukan mata-Ku memandang. Gunung es nya saja aku enggan menatap, apalagi jurang-jurang di sekitarnya. Karena kesahajaanmulah wahai bumi, satu-satunya yang Aku ridlo (dari jauh) di banding planet yang lain. Dan karena ridlo-Ku, Aku akan mengekalkanmu. Kalau begitu wahai bumi, ridlolah engkau dengan Ketetapan-Ku bahwa (dari dekat) Aku akan selamanya ridlo tidak melihat (murka) dengan punggungmu yang aku benci melihatnya. Dan dari dekat, Aku juga selamanya akan ridlo melihat (cinta) dengan punggungmu yang aku ridlo dan cinta melihatnya. Kalau Engkau ridlo dengan keberadaanku apa adanya wahai Sang Surya, (Demi Engkau yang aku tak hidup tanpa-Mu) aku juga menetapkan ridlo dalam diriku untuk-Mu saja wahai Sang Surya.
         
          Demi Alloh, tidak ada satu makhluk di atas bumi pun yang melebihi kesahajaan seperti yang dibahasakan bumi selain Muhammad SAW. Dengan alasan inilah  Muhammad merupakan ciptaan terakhir Alloh yang paling Alloh cintai. Beliau SAW lah insan kamil, yang melahirkan insan-insan kamil berikutnya yang secara berurutan adalah Rosul Ulul ‘Azmi, Rosul-rosul yang lain, para Nabi, Wali Qutub dan seterusnya sampai Wali Akhyar (gradasi Wali terendah). Setelah itu baru orang-orang beriman. Dan yang terakhir adalah orang-orang kafir. Yang disebut insan kamil di sini adalah dari derajat Wali terendah naik secara gradasi sampai ke pemipin Rosul Ulul ‘Azmi yaitu Muhammad Al ‘Umiy. Siapa yang menggelari Al-‘Umiy dan mengapa Alloh sangat cinta terhadap yang Alloh gelari dengan Al-‘Umiy. Al-‘Umiy adalah simbul kegelapan bumi yang tak akan bisa melihat dirinya sendiri tanpa kehadiran Sang Surya. Coba buka lebar-lebar akal kita semua;
         
1)    Jasad Muhammad dari bumi, bumi dari sempalan kawkab, kawkab dari sempalan Samsul Akbar, Samsul Akbar dari pengembangan inti yang tak lain adalah Cahaya.
2)   Ruh Muhammad




Muhammad yang di Sisi-Nya adalah Nur yang selalu memancar keluar dari Sumbernya (Sumber Cahaya seumpama Matahari). Muhammad yang di langit adalah bulan (Qomar). Muhammad yang ada dibumi adalah Muhammad yang hidup bersama para Shabatnya, yang para Sahabatnya itu bagaikan kawkab. Ketidak pisahan Tulisan Alloh-Muhammad di seluruh papan nama, terutama yang amat terang tertulis di Tiang Arsy, adalah seumpama ketidak pisahan Matahari dengan cahayanya yang selamanya memancar ke luar. Alloh (Matahari) bisa menerangi Diri dan melalui Cahaya-Nya (Nur Muhammad) menerangi sekelilingnya.
Jeritan kafiri (cemberut jurang jurang kotor mewujud dalam Istigfar Muhammad). Istigfar Muhammad menurunkan hujan; mana yang tanah akan semakin subur, mana yang tetap batu akan tidak menumbuhkan apa-apa selain lumut. Lumayan tumbuh lumut  seperti Abu Tholib yang ringan siksa ?????
Di permukaan bumi, Muhammad adalah makhluk terakhir yang Alloh bangga dengannya (DNA nya di ambil dari Adam, yang merupakan DNA terbaik yang akan masuk ke jasad Yang terbaik. Adapun turunan Beliau SAW selanjutnya, DNAnya sudah mulai turun, kadang baik (tapi tidak sebaik DNA Muhammad SAW, kadang turun lagi begitu seterusnya hingga semakin merosot sampai datangnya kiamat. Karena ada unsur Nur inilah sehingga Beliau adalah Al-basyar la kal basyar.


       Sebagaimana digambarkan oleh Alloh Sendiri dalam Surat An-Nur ayat 35, Alloh adalah Sumber Cahaya (jika diumpamakan dengan alam indra adalah seperti Matahari). Cahaya yang memancar ke luar dari Sumbernya, itulah yang sejatinya disebut dengan Nur Muhammad. Nur Muhammad adalah akar kejadian, bahan baku penciptaan alam semesta. Teori penciptaan yang sebenarnya sulit diterangkan oleh manusia selain dengan teori emanasi, yaitu pancaran cahaya yang secara gradasi memancar ke luar membentuk tingkatan-tingkatan cahaya (lapisan cahaya) yang juga menunjukkan tingkatan jenis makhluk (penampakan dari yang bathin). Ada yang Malaikat, ada yang para Nabi dan Rosul, ada yang para Wali, orang mukmin, orang kafir, alam semesta , surga maupun neraka, dst. Mula-mula mereka semua berujud arwah (kemurnian cahaya), kemudian ada yang tidak dibungkus dengan debu (sari tumbuhan) yaitu Malaikat atau Syetan (kebalikan ‘biji mata uang’ Malaikat), kemudian ada yang dibungkus dengan debu yaitu hewan. Ada juga kemudian yang dibungkus dengan kaca dan debu yaitu manusia.




Robbul Masyriqoini Wa Robbul Maghribain

Tidak ada komentar:

Posting Komentar